Sepenggal Senja Sejumput Pagi di Ranu Kumbolo


Matahari masih berselimut malam ketika kami berenam berangkat dari Malang menuju ke Ranu Pani, sebuah desa yang terletak di lereng gunung Semeru, Jawa Timur.  Tujuan saya adalah ke Ranu Kumbolo, sebuah danau di lereng gunung Semeru, yang terletak pada ketinggian 2.400 mdpl, sedangkan gunung Semeru sendiri mencapai ketinggian 3.676 mdpl merupakan gunung berapi tertingi di pulau Jawa.   Lama perjalanan dari Malang hingga Ranu Pani sekitar 3 jam, karena aspal yang telah terkelupas dan membuat lubang-lubang di banyak tempat. 

Ada dua jalur yang dapat ditempuh untuk menuju ke Gunung Semeru, yaitu melalui Senduro kabupaten Lumajang dan Ngadas Kidul kabupaten Malang.  Semua jalur ini akan bertemu di desa Ranu Pani, desa terakhir di lereng Semeru.  Ranu Pani yang terletak pada ketinggian 2.200 mdpl adalah tempat melapor, meminta perijinan  dan pemeriksaan perlengkapan untuk mendaki.  Di sini juga terdapat pondok  sederhana untuk pendaki yang ingin bermalam dan beristirahat.
Setelah membayar sebesar Rp 75.000 per orang dan Rp 50.000 per kamera, petugas menghampiri dan memeriksa perlengkapan kami sambil menghitung dan memeriksa perbekalan lainnya.  Kata petugasnya, banyak pendaki yang naik gunung seperti ke mall, tanpa persiapan dan perlengkapan yang memadai, sampai di atas sakit bahkan sampai meninggal karena kedinginan.

Untuk mencapai danau Ranu Kumbolo, juga terdapat dua jalur; jalur umum yang dilewati hampir semua pendaki yaitu melalui Landengan Dowo dan jalur yang biasa dilewati penduduk yang disebut Hayak-hayak.  Jalur Hayak-hayak memang lebih pendek, tapi lebih terjal dan curam, bagi yang tidak biasa naik gunung jalur ini tidak disarankan.  


Jalur trek menuju Ranu Kumbolo sebenarnya mudah dalam arti tidak akan membuat orang tersesat.  Ada paving yang meski pun sebagian telah terkubur oleh tanah dan tumbuh-tumbuhan bisa menjadi petunjuk pasti bagi pendaki pemula sekali pun untuk mengikutinya.  Paving ini berakhir di pos 4.  Ada empat buah pos tempat peristirahatan untuk mencapai Ranu Kumbolo.  Masing-masing pos memiliki pendopo berupa bangunan segi empat separo kebawah bertembok, separo keatas terbuka dengan empat tiang penyangga, dan beratap genteng.  Jalur yang paling berat adalah dari awal gerbang pendakian hingga ke pos 2 karena menanjak meski pun tidak terjal.  Begitu sampai di pos 3 terdapat  tanjakan yang pendek tetapi cukup terjal sehingga tanjakan ini diberi nama sesuai dengan makian khas Jawa Timuran.  Kalau tanjakan ini sudah dilalui pendaki mendapat ‘bonus’, trekkingnya mulai turun hingga ke pos 4.

Celoteh burung sesekali terdengar diantara dengusan nafas yang memburu.  Monyet hitam (Trachypithecus) yang disebut lutung oleh penduduk setempat berlompatan dari pohon ke pohon membuat kepala mendongak mendengar gemerosok gesekan daun-daunan.  Monyet-monyet itu mengawasi para pendaki yang lewat di bawahnya dengan rasa ingin tahu, matanya awas, gerakan pendaki membuatnya ketakutan dan menjauh ke pucuk pohon.   Angin juga sesekali mengirim hawa dingin melalui pohon akasia, pinus dan cemara.

“Yeeeeeee …” teriakan teman di depan sana menggema, sebuah ceruk berisi air yang berwarna hijau kebiruan terpampang di bawah sisi kiri.  Inilah danau Ranu Kumbolo, ikon gunung Semeru, yang luasnya 15 ha.  Nun jauh di tepi danau sisi seberang, terlihat seperti serpihan kain warna warni di padang sabana, itulah base camp yang akan kita tuju dengan tenda warna warninya.


Matahari masih bersinar cerah, ketika kami tiba dan segera mendirikan tenda.  Logistik digelar.  Semakin sore kabut mulai datang menyapa dalam keheningan, para pendaki mulai mengalir mengisi lahan kosong dan mendirikan tenda di sana sini, saling lempar senyum, sapaan dan akhirnya mengakrabkan diri.  Ketika malam semakin pekat, bintang-bintang terasa begitu dekat, sayang sekali api unggun dilarang dinyalakan dan hawa dingin yang menyusup tulang membuat kami membubarkan diri lalu bergelung di dalam sleeping bag.

Keesokan harinya langit yang biru dan udara yang bersih seakan mengisi kehidupan baru anak-anak manusia yang sedang berkemah di situ dan saya pun semakin jatuh cinta dengan Ranu Kumbolo.  Menurut mitos cinta dengan pasangan juga akan langgeng bila mendaki Tanjakan Cinta yang menantang di belakang base came tapi ada syaratnya, selama mendaki janganlah menengok ke belakang.  Syarat ini saya langgar berkali-kali karena tak tahan dengan keindahan yang disuguhkan selama pendakian.  Base camp dan danau yang yang disinari mentari atau pun diterjang kabut, semuanya menyuguhkan pemandangan yang tak terlupakan.  Capai dan dada yang sakit karena nafas yang terhimpit terbayar lunas ketika mencapai puncak Tanjakan Cinta, puncak Mahameru mengintip malu dari balik bukit. 


Sedangkan di balik Tanjakan Cinta terdapat Oro-oro Ombo, sebuah padang rumput dengan bunga-bunga kecil berwarna ungu yang melambai-lambai mengesankan suasana magis di kelilingi bukit dan pohon cemara.  Banyak pendaki menyangka bunga ungu ini adalah bunga Lavender, tetapi sebenarnya adalah Verbena brasiliensis vell, tanaman invasive yang bisa menjadi momok di tempatnya tumbuh dibalik keindahannya.  Untuk mencapai lokasi ini saya harus turun bukit yang hampir tegak lurus. 

Setelah makan siang sekitar pukul 11:30 kami pun berkemas, semua perbekalan masuk kembali ke dalam carrier termasuk sampah yang telah rapi dalam kantong plastik.  Kabut tebal merayap memenuhi danau dan kemudian menemani perjalanan kami kembali ke Ranu Pani.   Waktu yang kami tempuh hingga tiba di pos Ranu Pani adalah 3 jam.  Wajib untuk melapor di pos bahwa kami akan pulang dengan anggota lengkap dan sampah juga telah dibawa turun.


Ranu Kumbolo memang magnet bagi pendaki baik pemula, muda mau pun tua, kalau masih ada kesempatan saya masih ingin berkunjung kembali karena masih bermimpi memeluk Mahameru.

No comments:

Post a Comment