Cameron Bukan Cameroon

"Yang o nya satu di Malaysia yang o nya dua di Afrika", itu jawaban saya ketika teman-teman bertanya tentang dimana itu Cameron Highland, sebuah dataran tinggi tepatnya yang terletak Pegunungan Titiwangsa, Pahang, Malaysia.  Nama Cameron diambil dari seorang pejabat Inggris yang bernama William Cameron.  Suhu udara yang dingin mengakibatkan tempat ini dijadikan lokasi peristirahatan dan perkebunan.



Saya icip-icip 3D2N di salah satu desanya yang bernama Tanah Rata.  Desa kecil yang cuma punya satu jalan raya, dengan pertokoan di sepanjang jalannya yang pendek itu, tapi isinya turis asing semua dari segala usia, dari balita hingga tua.  Hal ini makin membuat saya penasaran, apa sih "yang dijual" kecamatan bernama Cameron Highland ini.

Cameron menawarkan obyek wisata Gunung Brinchang, Mossy Forest, Bee Farm, Butterfly Farm, Tea Plantation.  Gunung Brinchang yang tingginya 2110 mdpl dapat didaki dengan mengunakan guide lokal, kalau tidak mau mendaki cukup dengan menggunakan jeep ikut tour lokal yang banyak ditawarkan di kedai-kedai atau hotel, mencoba melihat matahari terbit.  Ya ... mencoba, karena kabut tebal seringkali menghalangi matahari.



Mossy Forest yang masih dalam kawasan Gunung Brinchang mempunyai jalan setapak dengan pagar untuk pengamanan bagi pengunjung yang ingin menikmati teduhnya hutan. Curah hujan yang tinggi menyuburkan lumut yang menempel di batang pohon, tanaman yang sudah berumur ratusan tahun dibiarkan tak terusik.  Berjalan melalui lorongnya bikin anak rambut berdiri karena kedinginan sepinya serasa creepy tapi bikin penasaran, ada apa di ujung sana ...



Nah yang menarik bagi saya adalah tea plantation.  Salah satu perkebunan teh warisan dari jaman penjajahnya, yang saya kunjungi adalah Boh Tea Centre Sungei Palas.  Banyak pekerjanya yang datang dari Indonesia, Nepal, Pakistan dan India.  Penjelasan mengenai berdirinya dan cara mengolah teh disajikan melalui layar lebar di satu ruangan yang diputar secara terus menerus.  Tempatnya bersih, tokonya tertata rapi bahkan ada semacam coffee shop menjual makanan ringan semacam pastry dan roti.  Namanya juga pabrik teh maka janganlah mencari kopi (kayak gue ...).  Duduk nyamil menikmati teh + susu hangat dengan pemandangan kebun teh ... membuat saya lupa waktu.

Biar pun desa kecil jalanan di Tanah Rata mulus semuanya, lalu lintasnya sepi dan bersih.  Saya bandingkan dengan Cimacan di Jawa Barat, yang padat untek-untekan, dan kumuh.  Disini tidak ada angkot, bis dan taxi yang ngetem tempatnya di terminal ... tertib.  Restoran banyak, mau yang mahal atau pun foodcourt dan warteg yang harga makanan dan minumannya cocok buat para backpacker.  Starbuck juga ada lho ...



Suasananya yang tenang, hawanya yang dingin, cocok sekali buat mereka yang ingin nyepi dan relaksasi, para turis asing sangat menyukai tempat ini, jauh dari polusi dan aman.  Hotel mewah ada dengan gaya Inggris seperti Cameron Highland Resort dan Smoke House dengan rate sekitar 2 juta rupiah per malam mau pun hostel backpacker yang hanya 60 ribu semalam per orang, bersih pula.



Yang membuat saya paling berkesan dalam kunjungan ke desa ini adalah bertemu dengan seorang perempuan Indonesia yang bekerja di warteg.  Beliau mengundang saya ke rumah kontrakannya dan kami pun bertukar cerita hingga tengah malam.  Salah satu putrinya sedang menyelesaikan kuliah kedokteran di salah satu universitas negeri di Jawa Tengah. Beliau juga mengundang saya untuk ikut kenduri keesokan malamnya karena ada yang mendirikan rumah baru, sayang sekali saya harus melanjutkan perjalanan ke kota lain.












No comments:

Post a Comment