Dieng Antara Mitos dan Kenyataan

Dieng yang merupakan dataran paling tinggi di Jawa berada di wilayah kabupaten Banjarnegara dan kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.  Dieng sendiri sebenarnya adalah kaldera yang berada di kawasan gunung berapi aktif dengan beberapa kepundan kawah pada ketinggian di atas 2000 mdpl dan dikelilingi gugusan gunung seperti Gunung Sumbing, Gunung Sindoro dan Gunung Perahu ini.  Karena itu Dieng menyuguhkan panorama alam yang begitu kaya dan luar biasa. Golden sunrise, silver sunrise, gunung berselimut kabut yang eksotis, kawah-kawah yang masih aktif, hamparan pemandangan di lembah dan sejuknya udara adalah sebagian di antaranya.
Sindoro menyambut pagi
Secara kultural, Dieng juga memiliki kekayaan yang begitu mempesona. Berasal dari kata Di (gunung) dan Hyang (dewa), Dieng juga menyimpan cerita tentang keberadaannya yang digambarkan sebagai kahyangan para dewa. Masih berdirinya candi-candi bernuansa Hindu dan situs-situs bekas wihara mempertegas perjalanan sejarah yang pernah ada. Keduanya menyatu dan saling memperkaya, yang antara lain melahirkan mitos-mitos yang sangat menggelitik untuk dicerna, seperti misalnya tentang keberadaan Kawah Candradimuka, candi-candi yang dinamakan dengan nama tokoh-tokoh pewayangan, Telaga Balai Kambang, dan sebagainya.

Katanya air telaga warna dulu punya 5 warna, yaitu hijau, biru, merah, kuning, jingga.  Warna kuning dan jingga muncul karena ada emas yang disembunyikan di dalamnya. Emas yang pada jaman dahulu digunakan untuk membuat pintu kerajaan.  Sedangkan warna merah muncul karena di dalamnya ada batu mirah, tetapi batu tersebut sudah hilang karena diambil oleh mahluk halus.  
Danau Telaga Warna di kiri, Pengilon di kanan

Sumur Jalatunda



Sedangkan terjadinya sumur Jalatunda terjadi gara-gara Bima marah dan menancapkan tumitnya ke tanah, nggak jelas marahnya masalah apa, pokoknya marah aja...  Sumur ini pula yang konon digunakan mandi oleh Antareja, anaknya Bima.  Bagi pengunjung, di sini disediakan batu untuk menjajal kemampuannya. Bagi laki-laki, mereka harus melemparkan batu hingga mengenai dinding tebing di seberangnya, jika berhasil maka keinginannya akan terkabul. Sementara itu, bagi perempuan cukup untuk bisa melemparkan batu sampai ke tengah sumur saja.



Ada dua mitos yang diceritakan tentang terbentuknya danau Merdada.  Yang pertama ketika Sugriwa dan Subali sedang bertapa memperebutkan keris.  Sugriwa mendapat kerisnya sedangkan Subali mendapatkan warangka keris itu.  Karena marah tidak mendapatkannya dengan lengkap, maka Sugriwa menusukkan keris nya di lereng gunung dimana Subali membuat danau di atasnya, sehingga gunungnya bocor dan membentuk danau yang dinamakan danau Merdada.  Karena kering tanpa air, danau yang dibuat oleh Subali maka dinamakan danau Wurung (wurung berarti tidak jadi atau batal).
Mitos lain menceritakan bahwa danau ini tempat lahirnya Anoman. Pada jaman dahulu barangsiapa yang berani-berani cuci muka disitu akan dikutuk menjadi monyet, contohnya ya seperti Sugriwa dan Subali itu.  Ada yang mau mencoba?
Danau Merdada
Kompleks Candi Arjuna sudah tertata rapi.  Kabut tipis membayang dekat ke permukaan tanah, suasana yang sepi dengan pemukiman nun di lereng gunung, dikelilingi oleh bukit-bukit dan pohon pinus berjajar di dua sisi mengapit jalan setapak menuju Bale Kambang di sebelah timur kompleks candi, memberikan imaginasi seolah-olah kami tidak di Indonesia, ditambah adanya domba-domba gendut yang sedang merumput.  Jauh dari polusi, jauh dari keramaian dan kebisingan, yang terdengar hanya bunyi nafas dan suasana magis menanti sang surya menampakkan diri dari balik bukit.



Kompleks candi Arjuna diperkirakan dibangun pada tahun 809.  Ada empat buah candi yang berada dikompleks ini, yaitu Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Sembadra dan Puntadewa.  Masing-masing candi kecil ini memiliki keunikan tersendiri, kecuali Puntadewa dan Sembadra yang polos saja.

Candi Arjuna yang paling besar memiliki saluran air berkepala naga yang disebut jaladwara.  Di bagian atas pintu ada arca yang disebut kala, dan di samping kiri kanan bagian tangga ada arca ular yang dinamakan makara.  Di dalam candi ini ada bangunan kecil berbentuk kotak disebut yoni, yang menampung tetesan air dari atap candi meski pun meskipun tidak ada hujan, terlihat ada rembesan air dari atas.  Sekali lagi mitos menceritakan barangsiapa yang meletakkan tangannya di atas yoni dan kejatuhan tetesan air, maka keinginannya akan terkabul.

Candi Semar berseberangan dengan candi Arjuna, bangunan yang lebih kecil ini fungsinya sebagai tempat penyimpanan senjata.  Di dalam candi Semar juga ada yoni.
Candi Srikandi memiliki keistimewaan dengan adanya tiga relief pada dinding luar candi yang melambangkan tiga dewa yaitu Shiwa, Wisnu dan Brahma. Disebelah kanan kompleks candi Arjuna terdapat tempat peristirahatan yang disebut Darmasala, dan di bagian belakangnya terdapat beberapa lingga yang dulu digunakan untuk tempat penyimpanan abu jenasah. 
Darmasala
Selain itu di bagian belakang kompleks ini ada satu candi yang bernama Selaki yang terletak di selatan candi Arjuna.  Dari jauh sudah terlihat candi Selaki, tetapi tidak menarik untuk didekati.  Menuju ke candi ini melewati jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan.   Di sebelah selatannya malah ada tiang dari bambu terpancang di tanah membentuk segi empat tinggi menjulang, awalnya aku pikir ada pemugaran di bagian bawahnya tapi kok tidak ada terpalnya. Ternyata itu tempat buat lomba merpati … duilah … di lokasi situs purbakala lho.

Satu hal lagi keunikan yang terdapat di Dieng yaitu adanya anak gembel (sering disebut gimbal).  Anak-anak dengan ciri khusus ini hanya terdapat di daerah Wonosobo.  Menurut mitos,  anak-anak ini adalah anak yang istimewa karena merupakan titisan dari Kyai Kaladete, seseorang yang dianggap sebagai orang sakti dan tetua di Dieng.  

Acara memotong rambut gembel sudah menjadi obyek nasional bahkan internasional dan diliput berbagai media padahal menurut salah satu orang yang pernah berambut gembel ketika kecil, hal ini sangat memberatkan. Bukanlah hal yang patut untuk diekspose, upacara dan pidato-pidato yang berkepanjangan, membuat anak-anak yang telah lelah menyandang status berambut gembel, masih juga harus dipajang untuk kepentingan kas daerah.

Dieng dengan semua kekayaan wisatanya merupakan salah satu tempat favoritku di Jawa Tengah.  Jalan raya di Dieng meskipun kecil tetapi bersih dan mulus, hanya jalan menuju ke Sikunir yang rusak, aspal telah terkelupas menyisakan batu-batu yang terserak. Penduduknya yang ramah dan sopan dan tidak adanya pungutan-pungutan liar di tempat-tempat wisata adalah nilai plus yang lain. Semua lokasi wisata menarik biaya tiket masuk dengan harga wajar dengan jumlah karcis yang diberikan sesuai dengan jumlah yang kita bayarkan, termasuk harga makanan dan minuman tidak pasang harga aji mumpung.  Membawa kamera tidak perlu ada tambahan biaya, ini patut diacungi jempol.  Aku paling sebel bila masuk ke lokasi wisata dan dikenakan biaya tambahan hanya karena membawa kamera.   

Yang patut disayangkan adalah kurang dirawatnya peninggalan-peninggalan kebudayaan.  Batu-batu candi di Dharmasala dibiarkan teronggok.  Candi Selaki malah terletak di tengah halaman penuh rumput dan genangan air.  Kamuncak, bagian atas candi yang seharusnya terletak diatas salah satu candi yang ada di pelataran candi Arjuna, malah dibiarkan tergeletak di bagian bawah di pelataran.

Semoga hal ini bisa menjadi perhatian dinas pariwisata dan tidak dibiarkan berlarut-larut.

No comments:

Post a Comment